Beli Gitar Itu Kayak Cari Calon Suami Harus Yang Nyaman

 


Beli Gitar Itu Kayak Cari Calon Suami Harus Yang Nyaman. Sejarah panjang saya dan dunia musik pada akhirnya tiba pada konklusion bahwa saya hanya bisa memainkan satu alat musik yaitu gitar. Catat: gitar akustik. Padahal dulu, waktu perangkat band keluarga (Jemiri Band) belum dijual, saya mencoba menabuh drum secara otodidak dan mencoba memainkan orgen. Kalian pun jangan berpikir ketinggian bahwa saya jago memainkan gitar kayak musisi-musisi keren Indonesia. Tidak, saya belum sampai pada tahap itu karena kunci yang dikuasai pun baru yang paling dasar. A, B, C, D, E, F, G dengan tambahan Am, Em, Bm, Dm, Fm, sedangkan Cm masih bikin saya garuk kepala. Hahaha. Setidaknya saya bisa mengiringi diri sendiri bernyanyi, dan tentu saja Mamatua! Hyess, Mamatua suka banget menyanyikan lagu Teluk Bayur.


Baca Juga: Sakit Hati Berujung Maut Yang Menggemparkan Tanah Ende


Sejarah panjang saya dengan gitar pun ngeri-ngeri sedap. Hehe. Pertama beli gitar di Toko Sahabat, bertahun-tahun lampau (saya lupa tahun berapa pokoknya sudah lama banget). Asal membeli, yang penting punya gitar. Gitarnya kemudian rusak dan lantas diperbaiki sama Noel Fernandez, dicat kuning, ditempeli stiker. Gitar yang usianya sudah bermusim-musim itu akhirnya saya ikhlaskan tidak lagi berada di Pohon Tua (nama rumah kami). Sekian lama saya hanya bisa meminjam gitar pada Akim Redu dan Violin Kerong. Gara-gara meminjam gitar itulah saya jadi tahu perbedaannya. Ha? Apanya yang beda?


Gitar yang dipinjamkan Akim itu berbodi besar, sama dengan gitar lama saya, dengan neck panjang/normal. Ingat ya, ini gitar akustik. Lanjut, sedangkan gitar yang dipinjamkan Violin itu berbodi lebih kecil dan sangat nyaman ketika memainkannya. Pelukannya mantap jiwa. Kemudian saya pergi ke Kedai Kampung Endeisme di mana gitar yang disediakan di sana, untuk dimainkan pengunjung, berbodi lebih ramping dan tingkat kenyamanannya lebih tinggi dari pada saat memainkan gitar milik Violin. Sejak saat itu saya berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat akan membeli gitar berbodi kecil dan ramping dengan neck pendek. Kenapa lebih suka neck pendek? Pertama, agar jangkauan tangan saya tidak perlu sampai bikin otot pegal. Kedua, tidak perlu memakai bantuan capo yang dipasang pada fret yang merupakan bagian dari neck gitar.


Malam Minggu kemarin impian saya terwujud. Sepulang dari kampus saya menuju Jalan Melati lokasi Toko Abdee Acoustic. Bersama Akim dan tiga saudaranya (gengs, beli gitar saja bawa pasukan) saya mulai memilih gitar yang dijual di sana. Sumpah, saya sampai bingung mau gitar yang mana hahaha. Berdasarkan jenis gitar yang saya mau, dan rekomendasi saudara-saudaranya Akim, saya pun membeli sebuah gitar dengan warna kayu natural berukuran sedang. Transaksi itu terjadi setelah saya mencoba tiga buah gitar. Tingkat kenyamanan memang beda-beda. Dan akhirnya saya berhasil membeli gitar yang satu ini:



Belum sempat mencabut stiker harganya pula hahaha. Oh ya, harganya Rp 950K ditambah tas gitar totalnya Rp 980K. Melihat itu, saudaranya Akim membisik: kan tinggal sedikit dapat Yamaha yang 1,5Juta, Kak! Hmmm. Beberapa ratus ribu ini bisa buat makan serumah dua mingguan. Ha ha ha. 


Baca Juga: Bertumbuh dan Berkembang Bersama Universitas Flores


Apa pelajaran dari pos hari ini? Ya itu, beli gitar itu kayak cari calon suami. Harus yang nyaman. Hahaha. Kalau tidak nyaman, mainnya tidak enak (gitarrrrr, main gitarrrrr). Saya membeli gitar memang berdasarkan pengalaman pribadi. Karena gitar yang dibeli bakal menjadi sahabat bermusik sehari-hari jadi memang harus pilih yang nyaman. Sejauh ini (baru tiga hari) saya memainkannya, rasanya nyaman-nyaman dan enak-enak saja. Demikian pula dengan calon suami, setidaknya ada kenyamanan ketika bersamanya. Uiiiihhhh bahasanya hahaha.


Selamat gitaran!


Cheers.

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan